Himpunan Mahasiswa Psikologi FK Unhas
Dvisi Penelitian dan Pengembangan Periode 2017/2018
FOBIA
SOSIAL
Apakah Anda pernah mendengar
tentang fobia sosial? Apakah istilah pemalu, fobia sosial, dan antisosial
merujuk pada hal yang sama? Terkadang ketika dijumpai seseorang yang terlihat
pemalu, orang-orang di sekitarnya dengan mudah melabeli orang tersebut sebagai penderita
fobia sosial atau bahkan tidak sedikit pula yang menyebut kondisi itu sebagai
antisosial. Orang yang pemalu dan fobia sosial merupakan hal yang berbeda
secara signifikan. Bedanya, rasa malu pada orang-orang yang menderita fobia
sosial tergolong intens dan persisten. Orang-orang dengan fobia sosial
cenderung menghindari situasi sosial karena dihantui ketakutan akan dinilai
buruk oleh orang lain. Situasi sosial ini terbagi dua, melakukan sesuatu di
depan orang yang tidak familiar (termasuk tampil berbicara di depan umum) dan
situasi yang melibatkan interaksi interpersonal (seperti kencan, menghadiri
pesta, atau kegiatan-kegiatan yang kemungkinan banyak orang di dalamnya). Sebagian
orang memiliki bentuk fobia sosial yang terbatas pada bentuk situasi tertentu,
misalnya ketika hendak berpidato di depan umum, memainkan alat musik, buang air
kecil di kamar mandi umum, menghadiri pesta, menghadiri kegiatan-kegiatan yang
ramai, atau makan di restoran. Bagi orang-orang tertentu, ketakutan ini bisa tergeneralisasikan
atau melibatkan seluruh macam situasi. Dalam kehidupan nyata, orang-orang
seperti ini, sering dideskripsikan sebagai orang yang sangat pemalu (Oltmanns
& Emery, 2013).
Fobia sosial ini berbeda
dengan antisosial. Apabila fobia sosial merujuk kepada ketakutan yang intens
terhadap situasi sosial, orang-orang antisosial cenderung menunjukkan
perilaku-perilaku yang eksploitatif, manipulatif, mengabaikan hukum, melanggar
hak orang lain, serta cenderung melakukan perilaku kriminal tanpa motif yang
jelas atau logis. Antisosial ini sama dengan istilah psikopat. Jadi, begitu
berisiko apabila orang-orang yang sebenarnya menderita fobia sosial, dilabeli
sebagai antisosial. Mungkin hal ini merupakan hal biasa di depan umum, apalagi
di kalangan anak muda Indonesia timbul istilah “Ansos” yang merupakan singkatan
dari antisosial. Istilah tersebut ditujukan kepada orang-orang yang dianggap
penyendiri, tidak punya teman, dan tidak gaul. Mungkin bagi kebanyakan orang
hal ini bukanlah topik yang perlu dibesar-besarkan, namun berbeda halnya bagi
kalangan yang berkecimpung di dunia medis atau psikologi, yang memahami bahwa
fobia sosial berbeda secara signifikan dengan antisosial dan merupakan sesuatu
yang berisiko apabila kedua istilah ini disamakan (Feldman, 2012).
Bagaimana diagnosis untuk
gangguan fobia sosial? Merujuk kepada PPDGJ-3 dan DSM-5, diagnosis fobia sosial
baru boleh ditegakkan apabila seseorang mengalami semua dari simtom-simtom yaitu
adanya respons fisiologis (sakit perut, mual, gemetar, merasa pusing, napas
pendek, dan sebagainya) atau perilaku maladaptif yang timbul disebabkan oleh
kecemasan yang dirasakan, bukan karena penyebab lain, seperti waham atau
pikiran obsesif, kecemasan sifanya mendominasi atau terbatas pada situasi
sosial tertentu (misalnya, ketika berbicara di depan umum, berada di tengah
keramaian, makan di restoran, berada di toilet umum, dan sebagainya), orang
yang mengalami gangguan ini, menunjukkan bentuk perilaku penghindaran terhadap
situasi sosial yang meningkatkan kecemasan (Maslim, 2013).
Lalu, bagaimana cara
menangani orang-orang dengan fobia sosial? Salah satu bentuk penanganan yang
paling mungkin untuk efektif bagi orang-orang dengan gangguan ini, yaitu CBT (Cognitive Behavioral Therapy). Mengapa
CBT? Oleh karena CBT bekerja dengan cara mendampingi klien untuk mengganti
pikiran-pikiran tidak rasionalnya menjadi pikiran yang lebih rasional. Dalam
hal ini, pikiran tidak rasional merupakan akar permasalahan bagi kebanyakan
orang-orang dengan fobia sosial. Mereka mengalami ketakutan untuk dinilai buruk
oleh orang lain, mereka takut akan menjadi pusat perhatian dan ditertawakan
orang lain, mereka berpikir bahwa orang lain sedang mengawasi dirinya dan
menganggapnya bodoh. Namun pada dasarnya, bentuk terapi yang diberikan kepada
klien fobia sosial disesuaikan dengan bentuk gangguannya, onset, dan hal yang
melatarbelakangi gangguan tersebut (Nevid dkk., 2003).
Lantas, apa yang bisa kita lakukan sebagai
orang-orang terdekat mereka? Pahami dan dampingi mereka untuk kembali ke diri yang
sesuai fitrah. Dampingi mereka untuk memahami bahwa mereka punya banyak
kelebihan dan potensi, yang dapat mereka kembangkan. Dampingi mereka untuk
memahami bahwa letak masalahnya ada pada pikiran-pikiran tidak rasional. Namun,
hindari justifikasi dan cara yang terkesan menceramahi. Karena pada dasarnya,
mereka bukan pendosa yang perlu untuk diceramai. Jangan ikut-ikutan dengan
orang-orang yang cenderung membully mereka. Hanya saja karena mereka berbeda,
bukan berarti mereka aneh, tapi lebih kepada karena mereka unik. Mereka hanya
perlu didampingi untuk perlahan-lahan mengenal diri mereka dan mengembangkan
potensi yang mereka miliki tanpa terus menerus terhambat dengan pikiran-pikiran
tidak rasional. Sebagai tindakan nyata, sarankan mereka untuk mengunjungi
psikolog atau psikiater atau sarankan mereka untuk mengikuti sesi konseling.
Ketika Anda melakukan ini, secara tidak langsung Anda sudah menjadi agen
preventif masalah kejiwaan.
Referensi:
Feldman,
R.S. (2012). Pengantar Psikologi, Edisi
10-Buku 2 (terjemahan). Jakarta: Salemba Humanika.
Maslim, R. (2013). Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa: Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III dan
DSM-5. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya, Jakarta.
Nevid
dkk. (2003). Psikologi Abnormal
(Edisi kelima, jilid 1). Jakarta: Penerbit Erlangga.
Oltmanns,
Thomas F. & Robert E. Emery. (2013). Psikologi
Abnormal (Buku Kesatu). Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar.