Himpunan Mahasiswa Psikologi FK Unhas
Divisi Penelitian dan Pengembangan Periode
2017/2018
|
Did you Know the History behind Modern Psychology
Development?
Berbicara
tentang sejarah, mungkin akan menjadi satu hal yang identik dengan kata “flashback” yang berujung pada keenganan
kita untuk mengetahui lebih dalam. Padahal perkembangan keilmuan Psikologi
tidak bisa berada pada titik eksistensinya sampai saat ini, jika tidak
dipengaruhi oleh sejarah perkembangan sebelumnya. Oleh karena itu,
marilah
kita meninjau bagaimana psikologi berkembang menjadi ilmu yang modern secara lebih mendalam.
Sebelum abad ke-19,
psikologi belum diakui sebagai suatu disiplin ilmu yang bersifat ilmiah.
Kebanyakan gagasan-gagasan yang sekarang lebih dikenali sebagai bagian dari
kajian psikologi, dikemukakan jauh sebelum abad ke-19 oleh para filsuf. Mulai
dari Aristoteles hingga Zoroaster. Mereka banyak memikirkan berbagai
pertanyaan, yang kini lebih dikenali sebagai pertanyaan psikologis. Mereka
bertanya tentang bagaimana seseorang memperoleh informasi melalui inderanya,
menggunakan informasi yang diterimanya untuk memecahkan berbagai masalah,
hingga bagaimana proses yang terjadi dalam diri seseorang yang menjadikannya
bertindak secara dramatis. Mereka mencoba untuk memahami hakikat emosi, apakah
emosi mengendalikan kita, atau emosi dapat kita kendalikan. Sebagaimana para
psikolog masa kini, mereka mendeskripsikan, memprediksikan, memahami, dan
memodifikasi perilaku untuk menambah pengetahuan mengenai manusia. Kendati
demikian, tidak seperti psikolog modern, para pemikir dahulu, tidak memiliki
pegangan empiris. Mereka lebih banyak bersifat spekulatif.
Sampai di sini, tidak
berarti bahwa para pelopor psikologi selalu memiliki gagasan yang keliru.
Banyak dari mereka memiliki gagasan yang diperoleh melalui observasi, yang
terbukti benar. Misalnya, Hippocrates (460 SM-377 SM), seorang dokter Yunani
yang sekarang lebih dikenal sebagai bapak kedokteran, melakukan observasi
terhadap pasiennya yang mengalami cedera kepala. Dari situ, kemudian dia
menyimpulkan bahwa otak merupakan perangkat tubuh yang menjadi sumber
kebahagiaan, tawa, lelucon, kenikmatan, sekaligus juga penderitaan, kesedihan,
dan kesakitan kita. Begitupun para filsuf aliran Stoic yang merumuskan gagasan
bahwa seseorang tidak menjadi marah, sedih, atau cemas karena kejadian aktual
itu sendiri, melainkan karena persepsi yang mereka miliki terkait kejadian
tersebut. Pada abad ke-17, John Locke, seorang filsuf Inggris, mengemukakan
bahwa pikiran bekerja melalui asosiasi ide-ide yang muncul dari pengalaman.
Gagasan John Locke ini banyak dikembangkan dalam dunia psikologi melampaui
masanya.
Di sisi lain, tanpa
dasar empiris, para pelopor psikologi juga membuat kesalahan yang begitu
menyesatkan. Mungkin satu contoh terbaik yang dapat mewakili poin ini, yaitu
frenologi. Pada intinya, frenologi merupakan teori yang membedakan berbagai
area di otak untuk menjelaskan karakter tertentu dan sifat-sifat kepribadian,
yang semuanya ini dapat diprediksikan melalui benjolan yang terdapat di tulang
tengkorak. Misalnya, seseorang dapat diprediksikan sebagai seorang pembunuh
dengan melihat letak benjolan pada tengkoraknya. Ketika ternyata orang tersebut
bukan merupakan seorang pembunuh, ahli frenologi akan menjelaskan bahwa dia
memiliki benjolan lain di tengkoraknya yang menunjukkan karakter positif, yang
menghalanginya untuk melakukan pembunuhan. Ketertarikan terhadap frenologi
terus bertahan hingga abad ke-20, namun bagaimanapun juga frenologi ini sekedar
omong kosong belaka dan tidak dapat dipertanggungjawabkan objektivitasnya.
Sementara frenologi berkembang dengan pesat
di Amerika, di belahan bumi lainnya, yakni Eropa, terdapat seorang pria yang
mengembangkan ketertarikannya untuk menjadikan psikologi sebagai ilmu yang
berlandaskan metode ilmiah. Pria tersebut, yaitu Wilhelm Wundt. Wundt
(1832-1920) merupakan seorang pria yang memiliki minat terhadap banyak
keilmuan, seperti: kedokteran, filsafat, psikologi, sejarah, ilmu pengetahuan
alam, etika, serta logika. Namun siapa sangka, Wundt lebih dikenal dalam dunia
keilmuan, sebagai pelopor pertama berdirinya psikologi modern, bahkan hingga
saat ini. Wundt-lah yang pertama kali mendirikan laboratorium psikologi, yang sekaligus
menjadi titik awal psikologi diakui sebagai disiplin ilmu yang bersifat ilmiah
dan objektif. Laboratorium tersebut didirikan di Leipzig, Jerman, sehingga
seringkali disebut sebagai laboratorium Leipzig. Meskipun pada mulanya,
laboratorium tersebut hanya berupa beberapa ruang dalam gedung tua, namun segera
setelah berdirinya, laboratorium tersebut menjadi tempat pelatihan bagi
orang-orang yang ingin menjadi psikolog. Kebanyakan psikolog pertama Amerika
melakukan pelatihannya di sini.
Para peneliti yang
bekerja bersama Wundt banyak berfokus pada topik-topik seperti: sensasi,
persepsi, waktu reaksi, dan atensi. Mereka tidak mengkaji topik-topik psikologi
yang lebih banyak dikenal hingga saat ini, seperti: proses belajar,
kepribadian, maupun perilaku abnormal. Dalam laboratoriumnya, Wundt melatih para
sukarelawan agar secara cermat mengobservasi, menganalisis, dan mendeskripsikan
sensasi, mental, dan reaksi emosinya sendiri. Berkat jasa-jasanya sebagai pelopor
berdirinya psikologi modern, Wundt diberikan penghargaan karena telah mendirikan laboratorium
psikologi pertama, yang sekaligus menjadikan psikologi sebagai disiplin ilmu.
Psikologi modern yang awalnya berawal dari sebuah gedung tua di Leipzig, kini
telah berkembang pesat di seluruh penjuru dunia.
Referensi:
Morgan,
C. (1979). Intoduction to Psychology Sixth Edition. Tosho Printing:
Japan.
Schultz,
D. (2013). Sejarah Psikologi Modern. Penerbit Nusa Media: Bandung.
Wade,
C. & Tavris, C. (2007). Psikologi Edisi Kesembilan Jilid 1. Penerbit
Erlangga: Jakarta.
Walgito,
B. (2005). Pengantar Psikologi Umum. Penerbit Andi: Yogyakarta.